Kamis, 22 Agustus 2013

Harga sebuah harga diri

kali ini saya mencoba untuk memposting cerpen, dan yang jelas bukan karya saya tp karya my sister :D


Langkah nya pelan, menuju gubuk reot yang hampir roboh tepat di pinggiran sungai kecil tempat orang-orang mencuci baju, mandi dan membuang hajat. Sudah 3 hari ini perut nya tak diisi, jangankan roti, sebutir nasipun tak ada untuk dia makan. Orang-orang disekitarnya juga tak ada yang peduli, mungkin mereka berpikir “jangankan mau membantu orang, membantu diri sendiri saja susah”. Sebenarnya dia tak ingin pulang, tapi harus  bagaimana lagi, di rumah nya ada 3 orang anaknya yang harus di jumpai nya, yang harus diberinya makan, mereka pasti menangis-nangis berharap ibunya datang membawa nasi. Sampai di depan pintu rumah nya, anak-anaknya langsung bergelayutan dikakinya, menangis merengek-rengek minta makan, “ibu...ibu..., lapar lapar lapar, ayo masak” “sabar nak, ibu beli beras dulu, tunggulah sebentar “ sebenarnya dia tak tega memberikan janji-janji palsu terus menerus pada anak-anaknya, tapi apa boleh buat hanya itu yang bisa dilakukannya. Kemudian dia pergi ke dapur menaikan panci ke atas tungku dan mengisinya dengan air, dia berharap anak-anak nya dapat tenang dan menyangka dia sedang memasak nasi, benar saja anaknya berhenti menangis dan duduk diam di depan tungku itu, mungkin mereka percaya ibu mereka sedang menanak nasi, mungkin juga mereka sudah terlalu lelah dan tak ada tenaga lagi untuk menangis, “tunggulah di rumah ibu akan keluar sebentar” anak-anaknya hanya diam dan memandang nya dengan tatapan kosong, diapun melangkahkan kakinya keluar dari rumah, dia ingin menangis melihat anak-anaknya , tapi air matanya sudah tak bisa lagi keluar. Sambil berjalan tak tentu arah, pikirannya kembali pada masa lalu, dulu dia tinggal berkecukupan bersama kakak nya, sampai akhirnya dia memutuskan untuk pergi meninggalkan kakak nya, pergi bersama pria yang dia cintai, pria yang tidak direstui oleh kakaknya, bukan apa-apa, hanya saja kakak nya tidak ingin adiknya menikah dengan pria yang tidak jelas juntrungannya, yang tidak punya pekerjaan. Di masa-masa awal pernikahan pria itu menujukan rasa tanggung jawabnya, dia bekerja, membangun sebuah kios yang menjual bermacam-macam kebutuhan rumah tangga, dengan modal dari orang tuanya. Kios mereka maju pesat, merekapun semakin bahagia dengan hadirnya anak kedua dikeluarga kecil mereka. Pada siang yang terik itu tiba-tiba dia dikagetkan dengan kehadiran kakaknya, rupanya kakaknya datang untuk meminta bantuannya, keluarga kakaknya sedang dalam kesulitan ekonomi, anak mereka yang pertama akan masuk SMA, belum lagi anak mereka yang ketiga juga akan masuk SMP, dan itu semua membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena mendengar kesuksesan adiknya itulah makanya dia memberanikan diri untuk meminta bantuan adiknya itu. Mengetahui maksud kedatangan kakaknya itu, dia berkata sinis pada kakaknya, dia tidak bisa membantu, dia berkata bahwa uang yang dia punya adalah untuk tambahan modalnya, dia juga mengingatkan kakaknya pada masa lalu, dimana dulu kakaknya tidak merestui hubungannya dan suaminya sekarang. Menerima perlakuan yang kasar dan tidak hormat adiknya, kakaknya pun naik darah, dia mengingatkan adiknya bahwa adiknya akan kualat, adiknya tidak ingat siapa yang membesarkan dan menyekolahkan adiknya dulu saat mereka jadi yatim piatu di usia yang masih sangat muda. Akhirnya kakaknya pulang dengan sakit hati yang amat sangat, beberapa hari kemudian terdengar kabar bahwa kakaknya sakit, tampaknya sakit kakaknya itu akibat memikirkan perlakuannya waktu itu, tapi dia mencoba untuk tidak memperdulikan kabar itu.
            Sudah 2 hari suaminya tidak pulang, sekali pulang kerjanya hanya marah-marah saja, keadaan semakin memburuk, isi kios mereka hampir habis, yah sudah berbulan-bulan penghasilan mereka menurun dikarenakan pembeli yang sepi, ini semua akibat bukanya kios baru di sebrang mereka, entah apa yang lebih menarik yang pasti orang-orang lebih tertarik untuk berbelanja disana. Keadaan terus memburuk, hingga akhirnya mengantarkan ia ke gubuk reot tempatnya yang sekarang, suaminya tak pernah pulang lagi, melarikan diri dari tanggung jawab akan anak-anak dan istrinya, dulu memang suaminya masih pulang, hanya sekedar untuk tidur, suaminya memang kerja, kerja keliling berjualan es, tapi uang yang dihasilkannya dipakainya sendiri untuk membeli makanan yang enak-enak dan memenuhi kebutuhannya sendiri, pernah suatu kali dia pergi ke pasar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya untuk mencari sayur-sayur sisa penjualan orang yang tidak laku atau sudah dibuang karena dianggap tidak layak jual, saat itu anak nya yang paling kecil sedang sakit demam, dia bermaksud membuatkan anaknya sayur sop dengan bahan yang seadanya, tapi tanpa diduga dia melihat suaminya sedang duduk berjongkok di pojok pasar sambil makan nasi bungkus dekat tempat penjual bumbu dapur giling, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya berpaling dan tidak mempedulikannya, suaminya memang sudah tidak peduli apakah ia dan anak-anak kelaparan, bagi suaminya yang penting bisa makan enak dan tidur nyenyak. Kini dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri, sebenarnya dia sangat ingin bertemu dengan kakaknya untuk bertemu setelah perlakuannya pada kakaknya dimasa lalu, saat ini yang bisa dia lakukan hanya menangis dan meminta belas kasihan orang lain.
            Akhirnya dihentikannya juga langkah kakinya di sebuah warung kecil di depan lorong jalan masuk rumahnya, warung itu nampak sepi tidak ada pengunjung, walau sedikit ragu dia beranikan juga untuk masuk dan menjumpai si penjual. “permisi...permisi..... buk...” seorang wanita bertubuh gemuk dengan menggunakan daster yang lusuh muncul sambil mengipas-ngipaskan potongan kardus ketubuhnya yang dibanjiri oleh keringat. “oh... kamu Mar, ada apa kesini ???” “anu buk, maaf saya mau hutang beras” belum selesai bicara ibu gemuk itu langsung memotong “lagi !!!, hutang yang kemarin-kemarin saja belum ada yang kamu bayar, sekarang sudah mau ngutang lagi” “saya minta maaf buk, bukannya saya tidak mau bayar, tapi memang saya belum punya uang”. “memangnya kapan kamu bakal punya uang ???, huft..... aku ini cuma pedagang kecil Mar... warungku juga warung kecil bukan toko besar, kalau kamu terus-terusan ngutang ngutang ke aku, boro-boro warungku ini mau maju yang ada malah bangkrut, mau dikasih makan apa anak-anakku nanti ???” dia hanya tertunduk “maafkan saya bu, tapi apakah tidak bisa saya minta tolong, sekali ini saja ???” rasanya air matanya sudah mau jatuh, tapi ditahannya, harga dirinya sudah jatuh tidak perlu dia perparah dengan menangis didepan orang lain seperti seorang pengemis “maaf Mar, aku gak bisa, kamu coba sama yang lain saja” wanita gemuk itu masuk kembali kerumahnya dan meninggalkan Mar sendirian yang diam terpaku.
            Hari semakin terik, matahari kalap memancarkan sinarnya seolah-olah marah pada seisi penghuni bumi, tapi tak membuat dia berhenti untuk sekejap beristirahat menselonjorkan kakinya yang bila bisa bicara mungkin berteriak “aku lelah aku lelah”. Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana caranya dia paling tidak bisa membawa pulang secangkir beras untuk ketiga anaknya. Terngiang-ngiang ditelinganya tangisan ketiga anaknya yang menatap penuh harap pada panci yang diletakkannya diatas kompor, mungkin air di dalamnya juga sudah kering. Dilewatinya para pengemis yang berjajar di sepanjang jembatan penyebrangan tempatnya sekarang termenung, pikirannya seolah berkata “apakah aku mengemis saja?, ah tidak tidak, tapi aku sudah merasa sangat lemas sudah habis tenagaku, untuk berjalan aku tak sanggup lagi, pikirannya terus berperang antara mempertahankan hidup dan mempertahankan harga diri, ingin rasanya dia berteriak tapi tak punya tenaga yang terdengar hanya suara parau beradu dengan tangisan, akhirnya dia terduduk dan entah berapa lama.
            Matahari sudah hampir terbenam, seorang perempuan kurus tampak tergesa-gesa menuju rumah yang sesungguhnya tak layak disebut rumah, meski tergesa-gesa tetap saja langkahnya terlihat pelan ditangannya terpegang erat bungkusan hitam. “Gus....., Pan......., lala, dimana kalian nak ??? ibu sudah pulang, matanya menatap sekeliling ruangan, tapi tak ditemukannya ketiga anaknya, dia menuju dapur alangkah terkejutnya dilihatnya ketiga anaknya sudah tertidur disamping panci tempatnya merebus air tadi siang, apinya sudah padam mungkin karena kehabisan kayu untuk dibakar, dengan perasaan yang tak karu-karuan dibangunkannya satu persatu anaknya, dengan mata masih mengantuk dan tubuh yang lemas anaknya yang paling besar menangis sambil berkata “bu......nasinya hilang, kami tadi sudah tunggu lamaaa sekali sampai apinya padam, pas kami buka pancinya ternyata nasinya hilang hiks hiks hiks hiks” anaknya sesegukan kedua anaknya yang lain juga menangis tanpa berkata apa-apa. Tak tahan air matanya pun jatuh menyaksikan pemandangan yang ada dihadapan matanya saat ini, dengan lembut dia membelai ketiga anaknya secara bergantian “sudah nak jangan nangis lagi, nih coba lihat ibu bawa apa” sambil membuka bungkusan hitam yang sedari tadi dibawanya dengan hati-hati, dan membukanya secara perlahan dihadapan ketiga anaknya, nampak disana 2 bungkus nasi dengan lauk tempe dan sambal tumis.  Dengan mata berbinar-binar ketiga anaknya menatap kepada ibunya “makanlah nak, ini nasi kita, makanlah yang lahap, jangan saling berebut, berbagilah” dengan lahap ketiga anaknya meraup nasi itu “pelan-pelan saja makannya” “ibu tidak makan ???” tanya si bungsu “oh...ia ini ibu makan” sambil menyuapkan nasi kemulutnya “nasinya enak nak ???” “enak sekali bu, besok ibu bawakan kami lagi ya nasi seperti ini, Ipan pasti habiskan” dengan tersenyum “ia, besok ibu akan bawakan lagi” sisi lain dalam dirinya berkata “itukah janjimu ??? dan inikah rasa harga diri yang kau lepaskan ??? tak ada harganya dimata dunia yang kejam.